Kabîkaj, Lafaz Jimat di Muka Kitab
Di halaman muka beberapa manuskrip (makhthûthât) yang tersimpan di Dâr al-Kutub al-Mashriyyah, banyak tertulis lafaz “Kabîkaj” (كبيكج). Sewaktu melihatnya, penulis sejenak tertegun. Penulis menjadi teringat pada masa-masa belajar di pesantren salaf (tradisional) dulu, di Lirboyo, Jawa Timur. Bagi para santri pesantren-pesantren salaf, lafaz Kabîkaj bukanlah hal yang asing.
Biasanya, lafaz Kabîkaj ditulis sebanyak tiga kali di halaman muka dan halaman belakang, dan menulisnya pun harus dengan menahan nafas. Terkadang juga, ditulis dengan kalimat demikian: yâ Kabîkaj ihfazh hadza al-kitâb (يا كبيكج احفظ هذا الكتاب), yang berarti: hai Kabîkaj, jagalah kitab ini. Konon, tulisan Kabîkaj merupakan rajah, asma, atau ajimat. Kitab yang di halaman muka dan belakangnya tertulis lafaz tersebut, dipercaya tidak akan digerogoti oleh rayap, kutu, coro atau jenis serangga lainnya. Padahal sejujurnya, kebanyakan para penulis lafaz Kabîkaj tidak tahu menahu apa arti lafaz tersebut.
Beberapa tahun selepas keboyong-an dari pesantren, dunia seputar Kabîkaj dan rajah-rajah lainnya seolah “lepas” dari kamus batin dan pikiran penulis. Namun ternyata, penulis dikejutkan kembali oleh lafaz tersebut setelah beberapa waktu yang lalu penulis berkunjung ke Dâr al-Kutub al-Mashriyyah, pusat kodifikasi manuskrip di Mesir.
Keterkejutan penulis semakin bertambah saat menemukan sebuah artikel yang di muat di jurnal Turâtsiyyât yang diterbitkan oleh Dâr al-Kutub wa al-Watsâiq al-Qûmiyyah (The National Library and Archives), Kairo, edisi bulan Juli 2007. Artikel tersebut ditulis oleh Adam Garec, Orientalis kelahiran Chekoslovakia, dengan judul The use of “Kabikaj” in Arabic Manuscripts (diterjemahkan dengan tajuk Kabîkaj fî al-Makhthûthât al-‘Arabiyyah).
Dalam tulisannya, Garec mengkaji lafaz Kabîkaj dengan penghampiran filologis dan historis. Garec juga melampirkan beberapa contoh manuskrip yang memuat lafaz Kabîkaj, salah satunya adalah manuskrip yang berasal dari Aceh, yang ditulis pada abad ke-19 M (tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, dengan nomer seri 14.316).
Ketika membuka kamus-kamus bahasa Arab-Melayu-Indonesia (dari mulai kamus klasik al-Marbawi, Mahmud Yunus, al-Munawwir, hingga al-‘Ashri), penulis tidak menemukan padanan arti lafaz Kabîkaj. Di kamus bahasa Arab Kontemporer karangan H. Wehr, disebutkan bahwa lafaz Kabîkaj berasal dari bahasa Indo-Persia yang diarabkan (musta’rabah).
Dalam bahasa Persia, lafaz Kabîkaj berarti raja para serangga, atau malaikat penjaga rayap. Lafaz Kabîkaj juga mempunyai kedekatan arti dengan lafaz Dâyakhdâ (دايخدا) dalam bahasa Suryani, yang juga berarti nama malaikat yang menguasai jagat keseranggaan. Sebagian yang lain menyatakan, Kabîkaj adalah nama salah satu jenis tumbuhan yang mengeluarkan bau menyengat dan dijauhi oleh semua serangga. Pada gilirannya, lafaz Kabîkaj mengalami derivasi bentuk, semisal Akîkanj (أكيكنج), Kanînkaj (كنيكج), Kîh (كيح), Kîkah (كيكح), Bikîkaj (بكيكج), dan lain-lain.
* * * * *
Konon, proses pembukuan dan penjilidan makhthûthât kebanyakan menggunakan minyak ikan, kanji, madu, atau putih telur sebagai perekat halaman demi halaman dan jilid manuskrip. Bau perekat tersebut tak pelak akan mengundang rayap dan berbagai jenis serangga lainnya. Untuk menghindari hal itu, bahan utama perekat dicampur dengan tumbuhan Kabîkaj yang sudah ditumbuk terlebih dahulu. Bau Kabîkaj yang lebih dominan akan mencegah rayap-rayap untuk mendekati dan menggerogoti makhthûthât.
Namun, terdapat juga cerita yang beredar di masyarakat Persia dan India, yang menyatakan kalau lafaz Kabîkaj ditulis sebanyak-banyaknya di halaman muka dan akhir kitab, maka kitab tersebut akan selamat dari rayap. Konon, rayap-rayap itu akan merasa takut sebab nama malaikat penjaga mereka tertulis di halaman muka dan belakang kitab.
Nah, rupanya, cerita yang kedualah yang kemudian berkembang dan menjadi mitos turun temurun di kalangan pesantren tradisional. Sekilas memang tampak menggelikan, ketika para akang santri menuliskan lafaz Kabîkaj di halaman muka dan belakang kitab-kitab mereka dengan begitu khusuk, dengan menahan nafas, dan terlebih dahulu membaca surat al-Fâtihah.
* * * * *
Terlepas dari mitos yang berkembang di kalangan akang santri, setidaknya fenomena Kabîkaj menjadi menarik ketika diterawang dari frame kajian lintas budaya, utamanya jejaring dan pengaruh kultur Islam-Persia di Nusantara. Fenomena Kabîkaj semakin menguatkan hipotesa yang menyatakan bahwa tradisi Islam yang berkembang di Nusantara pada masa-masa awal adalah tradisi Islam-Persia.
Pertautan Persia-Nusantara di atas juga bisa ditelisik dalam ritual-ritual khas yang berkembang di pesantren tradisional, semisal diba’an, marhabanan, tahlilan, ziarah kubur, relasi kyai-santri, dan sebagainya. Begitu juga secara filologis, lafaz-lafaz yang berkaitan dengan Islam dalam bahasa Jawa-Melayu adalah cerapan dari bahasa Persia, seperti Malaikat, Hikmat, Kiamat, Surat dan lain-lain. Dalam bahasa Persia, Ta Marbûthah (ة) di akhir kata tidak dibaca Ha Sukun (ه) seperti dalam bahasa Arab, tetapi dibaca Ta Sukun (ت).
Tradisi Kabîkaj yang berkembang di atmosfir pesantren tradisional bukanlah satu-satunya fenomena. Masih banyak lagi lafaz-lafaz rajah dan asma lainnya yang mempunyai khasiat masing-masing. Misal kecilnya: lafaz Qithmîr (قطمير) yang ditulis di kertas untuk kemudian diselipkan di sela-sela kopiah,—konon, Qithmîr adalah nama salah satu anjing Ashhâb al-Kahfi. Atau lafaz Muhammad, yang ditulis dalam berbagai variasi bentuk. Pierre Lourie, orientalis Perancis kawakan, mengkaji fenomena rajah dan asma dalam bukunya (diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan tajuk ‘Ilm Asrâr al-Hurûf).
* * * * *
Tentu saja, kita akan mempunyai pandangan, tanggapan, dan kesimpulan yang berbeda-beda di hadapan fenomena di atas. Hal ini tergantung sejauh mana dan dengan kaca mata apa kita menerawangnya, apakah dengan optik fikih, mitologi, filologi, atau kajian budaya. Wallahu A’lam.
Di halaman muka beberapa manuskrip (makhthûthât) yang tersimpan di Dâr al-Kutub al-Mashriyyah, banyak tertulis lafaz “Kabîkaj” (كبيكج). Sewaktu melihatnya, penulis sejenak tertegun. Penulis menjadi teringat pada masa-masa belajar di pesantren salaf (tradisional) dulu, di Lirboyo, Jawa Timur. Bagi para santri pesantren-pesantren salaf, lafaz Kabîkaj bukanlah hal yang asing.
Biasanya, lafaz Kabîkaj ditulis sebanyak tiga kali di halaman muka dan halaman belakang, dan menulisnya pun harus dengan menahan nafas. Terkadang juga, ditulis dengan kalimat demikian: yâ Kabîkaj ihfazh hadza al-kitâb (يا كبيكج احفظ هذا الكتاب), yang berarti: hai Kabîkaj, jagalah kitab ini. Konon, tulisan Kabîkaj merupakan rajah, asma, atau ajimat. Kitab yang di halaman muka dan belakangnya tertulis lafaz tersebut, dipercaya tidak akan digerogoti oleh rayap, kutu, coro atau jenis serangga lainnya. Padahal sejujurnya, kebanyakan para penulis lafaz Kabîkaj tidak tahu menahu apa arti lafaz tersebut.
Beberapa tahun selepas keboyong-an dari pesantren, dunia seputar Kabîkaj dan rajah-rajah lainnya seolah “lepas” dari kamus batin dan pikiran penulis. Namun ternyata, penulis dikejutkan kembali oleh lafaz tersebut setelah beberapa waktu yang lalu penulis berkunjung ke Dâr al-Kutub al-Mashriyyah, pusat kodifikasi manuskrip di Mesir.
Keterkejutan penulis semakin bertambah saat menemukan sebuah artikel yang di muat di jurnal Turâtsiyyât yang diterbitkan oleh Dâr al-Kutub wa al-Watsâiq al-Qûmiyyah (The National Library and Archives), Kairo, edisi bulan Juli 2007. Artikel tersebut ditulis oleh Adam Garec, Orientalis kelahiran Chekoslovakia, dengan judul The use of “Kabikaj” in Arabic Manuscripts (diterjemahkan dengan tajuk Kabîkaj fî al-Makhthûthât al-‘Arabiyyah).
Dalam tulisannya, Garec mengkaji lafaz Kabîkaj dengan penghampiran filologis dan historis. Garec juga melampirkan beberapa contoh manuskrip yang memuat lafaz Kabîkaj, salah satunya adalah manuskrip yang berasal dari Aceh, yang ditulis pada abad ke-19 M (tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, dengan nomer seri 14.316).
Ketika membuka kamus-kamus bahasa Arab-Melayu-Indonesia (dari mulai kamus klasik al-Marbawi, Mahmud Yunus, al-Munawwir, hingga al-‘Ashri), penulis tidak menemukan padanan arti lafaz Kabîkaj. Di kamus bahasa Arab Kontemporer karangan H. Wehr, disebutkan bahwa lafaz Kabîkaj berasal dari bahasa Indo-Persia yang diarabkan (musta’rabah).
Dalam bahasa Persia, lafaz Kabîkaj berarti raja para serangga, atau malaikat penjaga rayap. Lafaz Kabîkaj juga mempunyai kedekatan arti dengan lafaz Dâyakhdâ (دايخدا) dalam bahasa Suryani, yang juga berarti nama malaikat yang menguasai jagat keseranggaan. Sebagian yang lain menyatakan, Kabîkaj adalah nama salah satu jenis tumbuhan yang mengeluarkan bau menyengat dan dijauhi oleh semua serangga. Pada gilirannya, lafaz Kabîkaj mengalami derivasi bentuk, semisal Akîkanj (أكيكنج), Kanînkaj (كنيكج), Kîh (كيح), Kîkah (كيكح), Bikîkaj (بكيكج), dan lain-lain.
* * * * *
Konon, proses pembukuan dan penjilidan makhthûthât kebanyakan menggunakan minyak ikan, kanji, madu, atau putih telur sebagai perekat halaman demi halaman dan jilid manuskrip. Bau perekat tersebut tak pelak akan mengundang rayap dan berbagai jenis serangga lainnya. Untuk menghindari hal itu, bahan utama perekat dicampur dengan tumbuhan Kabîkaj yang sudah ditumbuk terlebih dahulu. Bau Kabîkaj yang lebih dominan akan mencegah rayap-rayap untuk mendekati dan menggerogoti makhthûthât.
Namun, terdapat juga cerita yang beredar di masyarakat Persia dan India, yang menyatakan kalau lafaz Kabîkaj ditulis sebanyak-banyaknya di halaman muka dan akhir kitab, maka kitab tersebut akan selamat dari rayap. Konon, rayap-rayap itu akan merasa takut sebab nama malaikat penjaga mereka tertulis di halaman muka dan belakang kitab.
Nah, rupanya, cerita yang kedualah yang kemudian berkembang dan menjadi mitos turun temurun di kalangan pesantren tradisional. Sekilas memang tampak menggelikan, ketika para akang santri menuliskan lafaz Kabîkaj di halaman muka dan belakang kitab-kitab mereka dengan begitu khusuk, dengan menahan nafas, dan terlebih dahulu membaca surat al-Fâtihah.
* * * * *
Terlepas dari mitos yang berkembang di kalangan akang santri, setidaknya fenomena Kabîkaj menjadi menarik ketika diterawang dari frame kajian lintas budaya, utamanya jejaring dan pengaruh kultur Islam-Persia di Nusantara. Fenomena Kabîkaj semakin menguatkan hipotesa yang menyatakan bahwa tradisi Islam yang berkembang di Nusantara pada masa-masa awal adalah tradisi Islam-Persia.
Pertautan Persia-Nusantara di atas juga bisa ditelisik dalam ritual-ritual khas yang berkembang di pesantren tradisional, semisal diba’an, marhabanan, tahlilan, ziarah kubur, relasi kyai-santri, dan sebagainya. Begitu juga secara filologis, lafaz-lafaz yang berkaitan dengan Islam dalam bahasa Jawa-Melayu adalah cerapan dari bahasa Persia, seperti Malaikat, Hikmat, Kiamat, Surat dan lain-lain. Dalam bahasa Persia, Ta Marbûthah (ة) di akhir kata tidak dibaca Ha Sukun (ه) seperti dalam bahasa Arab, tetapi dibaca Ta Sukun (ت).
Tradisi Kabîkaj yang berkembang di atmosfir pesantren tradisional bukanlah satu-satunya fenomena. Masih banyak lagi lafaz-lafaz rajah dan asma lainnya yang mempunyai khasiat masing-masing. Misal kecilnya: lafaz Qithmîr (قطمير) yang ditulis di kertas untuk kemudian diselipkan di sela-sela kopiah,—konon, Qithmîr adalah nama salah satu anjing Ashhâb al-Kahfi. Atau lafaz Muhammad, yang ditulis dalam berbagai variasi bentuk. Pierre Lourie, orientalis Perancis kawakan, mengkaji fenomena rajah dan asma dalam bukunya (diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan tajuk ‘Ilm Asrâr al-Hurûf).
* * * * *
Tentu saja, kita akan mempunyai pandangan, tanggapan, dan kesimpulan yang berbeda-beda di hadapan fenomena di atas. Hal ini tergantung sejauh mana dan dengan kaca mata apa kita menerawangnya, apakah dengan optik fikih, mitologi, filologi, atau kajian budaya. Wallahu A’lam.